Perdebatan
sekaligus kekhawatiran tentang posisi Indonesia menjadi sebuah negara
gagal, tiba-tiba mencuat. Hal itu dipicu oleh keluarnya data terakhir
Indeks Tentang Negara-negara Gagal di dunia.
Dalam
kompilasi The Fund for Peace, sebuah lembaga nirlaba berkedudukan di
Washington DC, Amerika Serikat, posisi Indonesia turun dari ranking 64
ke 68 di antara 178 negara di dunia. Posisi tersebut menimbulkan
kekhawatiran di dalam negeri karena status Indonesia mendekati wilayah
yang disebut zone berbahaya.
Wajar
mengapa perdebatan mencuat. Antara lain karena waktu penyebaran indeks
tersebut bertepatan dengan makin maraknya kritikan terhadap pemerintahan
SBY. Rezim SBY dianggap tidak punya kapabilitas untuk mengangkat
Indonesia dari keterpurukan.
Ceritera
keberhasilan yang ditinggalkan Presiden Soeharto, gagal dikembalikan
Presiden SBY. Bahkan Presiden SBY sebagai "pilot", dinilai tidak mampu
menerbangkan "pesawat Indonesia" ke tempat tujuan yang sesuai jadwal dan
tentu saja mendarat dengan aman. Besarnya sumber daya alam yang
dimiliki oleh Indonesia, ternyata tidak bisa dimanfaatkan maksimal oleh
pemerintahan SBY bagi kemakmuran rakyat.
Sejak
memerintah di 2004, pemerintahan SBY sudah dua kali membentuk kabinet
yang diberi nama Kabinet Indonesia Bersatu. Dalam masa kerja kurang dari
8 tahun, Presiden SBY sudah beberapa kali melakukan perombakan kabinet.
Semestinya perubahan kabinet bisa menghasilkan kinerja yang lebih
baik..
Perombakan
kabinet itu, seolah hanya menggeser persoalan dari pejabat lama ke
pejabat yang baru. Manusianya pergi, persoalannya tetap tinggal dan
makin membesar. Bagi kelompok masyarakat yang dalam beberapa tahun
terakhir ini terus mengeritik kinerja pemerintahan Presiden SBY, data
The Fund for Peace tersebut semakin memberi pembenaran atas
asumsi-asumsi kegagalan pemerintahan SBY.
Sedangkan
bagi penguasa atau orang-orang dalam pemerintahan SBY, kebeneran data
The Fund For Peace itu masih harus diperdebatkan. Masih perlu dikuliti
dulu secara menyeluruh. Mengingat masih banyak atau cukup banyak fakta
positif yang menunjukan pencapaian pemerintah. Setidaknya begitulah
pandangan yang dari reaksi Menteri Koordinator Polkam Djoko Suyanto dan
Jubir Wakil Presiden Yopie Hidayat.
Oleh karenanya perdebatan dan kekhawatiran ini cukup menarik. Tanpa harus menetapkan siapa sebetulnya yang benar apakah The Fund for Peace ataukah rezim penguasa di Indonesia, namun mencuatnya perdebatan dan kekhawatiran tersebut memperlihatkan bahwa setiap asumsi tentang Indonesia, apabila yang melakukannya lembaga asing atau pihak ketiga, dianggap punya kebenaran. Masalah berbobot atau tidak, lain lagi ceriteranya.
Inilah
sebetulnya yang harus dihindari. Jika tetap berasumsi seperti itu, hal
tersebut dapat mengancam kapabiltas kita sebagai bangsa yang besar. Kita
semakin kehilangan rasa percaya diri. Orang asing, lembaga
internasional dengan mudah 'menggoyang' rasa percaya diri kita.
Terlampau
mempercayai penilaian apapun yang dilakukan pihak asing tentang negara
kita, merupakan sikap yang tidak pantas untuk diteruskan. Banyak fakta
yang memperlihatkan, penilaian LSM asing tentang Indonesia, kerap
bertentangan dan berseberangan dengan realita di lapangan.
Sebagai
misal data The Fund for Peace tersebut tersebar pada saat Presiden SBY
sedang menghadiri KTT B-20 di Meksiko. B-20 merupakan bagian dari
kegiatan kelompok G-20. Ke-20 negara tersebut dibentuk dengan kriteria
antara lain semua anggotanya memiliki potensi ekonomi yang kuat. Jadi
keanggotaan Indonesia dalam kelompok 20 itu dikarenakan Indonesia
dikategorikan sebagai negara berpotensi menjadi negara industri dan
bukan bukan negara gagal.
Jadi
hanya negara yang masa depan kehidupan ekonominya menjanjikan, yang
boleh diterima dalam G-20. Oleh sebab itu data The Fund For Peace
tersebut, baik ketika Indonesia ditempatkan dalam urutan ke-64 maupun
ke-68, kedua-duanya tidak punya dasar.
Di
dalam G-20 tersebut Indonesia duduk bersama-sama dengan negara industri
yang masuk anggota G-7, di antaranya Amerika Serikat. Di luar G-20,
Amerika Serikat sendiri secara khusus memberikan kebijakan khusus kepada
Indonesia.
Setidaknya
oleh Presiden Barack Obama, Indonesia diberi hak khusus untuk boleh
membeli 230 unit pesawat komersil buatan Boeing. Nilai kontrak jual beli
pesawat itu, antara Boeing dengan Lion Air (swasta Indonesia), mencapai
lebih dari Rp100 triliun.
Hal
ini menandakan, Amerika Serikat ataupun pejabat di pemerintahan Barack
Obama tetap optimis dengan masa depan Indonesia. Dengan swasta saja,
Washington tetap optimistis. Jika Washingtoon sudah memperhitungkan
Indonesia akan menjadi negara gagal, sudah pasti Amerika Serikat tak
akan menjual produk dirgantara kepada (swasta) Indonesia.
Bahwa
Presiden SBY gagal dalam memerintah seperti menghentikan praktek
korupsi tapi predikat kegagalan itu lebih tepat diberikan kepada rezim
yang memerintah. Bukan kepada negara sebagai sebuah institusi yang lebih
besar. Jika bicara kegagalan rezim, berbeda dengan kegagalan negara.
Pemerintahan
SBY juga gagal menelusuri bagaimana dan kemana aliran dana Bank Century
yang mencapai Rp6,7 triliun. Jelas kegagalan rezim SBY dalam menangani
skandal mega korupsi ini tidak serta merta bisa dijadikan alasan untuk
menyebut Indonesia sebagai sebuah negara yang gagal.
Negara
dan presiden merupakan dua innsitusi yang berbeda. Kegagalan seorang
presiden tidak bisa dialihkan kepada negara. Yang gagal adalah rezim
yang memerintah. Sebagai presiden ataupun politisi, SBY banyak
memberikan janjinya kepada masyarakat Indonesia. Tapi ketika SBY gagal
memenuhi janjinya, kegagalan itu harus tetap menjadi tanggung jawabnya
sendiri.
Kegagalan
rezim yang super korup harus dipisahkan dengan negara, Sebab sampai
kapanpun, Indonesia akan tetap jauh dari status sebagai negara yang
gagal. Potensi negara Indonesia menjadi sebuah negara gagal, masih
terlalu jauh.
Dengan
kekayaan alam yang tak terbatas jumlahnya, Indonesia tetap berpeluang
untuk menjadi negara makmur. Tetapi lebih dari itu posisi Indonesia
sangat berbeda dengan negara seperti Rwanda di benua Afrika dan
Bangladesh di Asia.
Yang
diperlukan Indonesia saat ini hanyalah kehadiran seorang pemimpin yang
mampu memotivasi rakyat. Seperti yang terjadi dengan RRC di 1990-an.
Negara terpadat penduduknya ini hingga 1990, masih merupakan salah satu
negara terkorup di dunia. RRC pada waktu itu masuk dalam kategori negara
gagal.
Tetapi
begitu pemimpin muda tampil ke panggung politik dan komit untuk
memberantas korupsi tanpa pandang bulu, secara berangsur terjadi
perubahan yang luar biasa di daratan RRC. Kini RRC sudah menjadi sebuah
negara raksasa akibat perekonomiannya yang maju. Sulit meramalkan negara
raksasa ini masih akan bisa gagal lagi.
Dengan
pengalaman dari RRC, kita bisa mengatakan Indonesia mampu menjadi
negara makmur. Indonesia hanya akan benar-benar menjadi sebuah negara
gagal apabila Indonesia tidak pernah menemukan tokoh yang mampu
memaksimalkan semua potensi.